Tags

, , ,

“UNDERACHIEVER PADA ANAK BERBAKAT AKADEMIS”

MUSYARRAFAH DM

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan yang dirasakan dewasa ini sehubungan dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia ialah bahwa meskipun kebijaksanaan di Indonesia sudah sangat mendukung pemberian perhatian khusus kepada peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (GBHN 1993, UUSPN No.2 tahun 1989), disebut juga anak berbakat, dan kebijaksanaan di Indonesia juga menekankan pentingnya kreativitas dikembangkan sejak usia pra sekolah sampai dengan di perguruan tinggi (GBHN 1993), namun dalam kenyataannya pelayanan pendidikan bagi anak berbakat belum diterapkan secara nasional. Demikian pula sistem pendidikan lebih menekankan pengembangan kecerdasan dalam arti yang sempit dan kurang memberi perhatian kepada pengembangan bakat kreatif peserta didik. Konsep kreativitas juga masih kurang dipahami, dan ini mempunyai dampak terhadap cara mengasuh dan mendidik anak. Padahal kebutuhan akan kreativitas nampak di semua bidang kegiatan manusia.
Bukan hanya itu, sebagian masyarakat masih menganggap bahwa pendidikan khusus bagi anak berbakat tidak bersifat demokratis karena anak berbakat seolah-olah mendapat hal istimewa dari anak yang lain. Ada juga yang berpendapat bahwa jika seorang anak betul-betul berbakat maka dengan sendirinya anak tersebut akan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki.
Salah satu dampak negatif dari tidak adanya pemberian pendidikan khusus untuk anak yang berbakat adalah mereka akan merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain sehingga akan memunculkan gangguan emosional dan kepribadian selain itu mereka bisa terdorong untuk menjadi anak underachiever, yakni prestasinya di bawah dari kemampuan yang seharusnya. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan pemberian assesmen pada anak-anak usia dini sehingga dapat diberikan assesmen dan pengembangat bakat-bakatnya dengan tepat.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penyusunan/penulisan laporan studi kasus ini adalah “Perlakuan seperti apa yang tepat untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah underachiever pada anak berbakat?”.

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan/penyusunan laporan studi kasus ini adalah untuk mengatahui perlakuan yang tepat untuk mengatasi atau menyelesaikan masalah underachiever pada anak berbakat.

D. Manfaat Penulisan
Hasil penulisan dari pembahasan studi kasus ini diharapkan kelak dapat memberi manfaat teoritis dan praktis. Adapun manfaat yang dimaksud adalah:
1. Manfaat teoritis
a. Mampu menjadi referensi ilmiah terkait dengan tema yang dibahas.
b. Mampu memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan agar bisa mengembangkan program pendidikan khusus untuk anak berbakat dan mengembangkan kreativitas anak didik.

2. Manfaat praktis
a. Bagi guru konseling atau psikolog sekolah, untuk memberikan penjelasan kepada pendidik, orang tua dan masyarakat bahwa anak berbakat berhak mendapatkan pendidikan khusus, selain itu mengembangkan program pengembangan kreativitas bagi anak didik dan membuat program pendidikan khusus untuk anak berbakat. pengetahuan dan pemahaman masyarakat khususnya remaja yang menderita epilepsi tentang konsep bentuk-bentuk coping stress.
b. Bagi guru dan orang tua, untuk senantiasa memberikan pengajaran yang menstimulasi kreativitas anak dan menyadari bahwa anak berbakat harus diberikan pendidikan yang khusus untuk mengembangkan potensinya.
c. Bagi masyarakat, untuk senantiasa memahami bahwa pendidikan khusus bagi anak berbakat bukanlah bentuk ketidakadilan dalam dunia pendidikan melainkan karena tanpa pendidikan khusus anak berbakat bisa menajadi underachiever sehingga dengan pendidikan khusus tersebut anak berbakat dapat mengembangkan potensinya dan kelak akan bermanfaat untuk masyarakat juga.

BAB II
KASUS DAN PENGUMPULAN DATA
A. Kasus
Subjek bernama Muallim Haq dipanggil Allim. Usia Allim sekarang adalah delapan tahun dan akan segera duduk di kelas tiga SD (Ulangan penaikan kelas dari kelas dua ke kelas tiga, sudah selesai).
Allim sudah bisa membaca dengan baik saat usianya menginjak empat tahun. Menurut keterangan dari ibunya, Allim suka ikut belajar jika ibunya mengajar kakak Allim – Sahrul Mubarak, dipanggil Arul – membaca yang usianya dua tahun lebih tua dari Allim. Hasilnya, Allim bisa membaca lebih cepat dari Arul padahal ibunya tidak memberikan pengajaran membaca secara khusus ke Allim. Allim cuma melihat dan mendengar saat Arul sedang diajari membaca oleh ibunya.
Ibunya menambahkan bahwa Allim selalu memperlihatkan minat yang besar terhadap bacaan-bacaan. Allim selalu membaca bungkusan jajanannya dan menanyakan ke ibunya apakah bacaannya sudah benar atau masih salah. Allim juga suka memamerkan kemampuan membacanya kepada tante dan sepupunya. Saat melihat benda yang bertuliskan sesuatu, Allim akan berkata kalau dia bisa membacanya dan memperlihatkan kalau dia memang mampu membacanya dengan benar.
Allim sangat antusias saat dimasukkan ke Taman Kanak-kanak (TK). Tapi antusiasme tersebut tidak lama. Dua minggu masuk TK, Allim mengeluh bosan di sekolahnya karena pelajarannya selalu sama dari hari pertama sampai dua minggu dia bersekolah. Belajar membacanya juga sama, selalu pengenalan huruf dan angka padahal dia sudah tahu semua. Alhasil, Allim jadi malas ke TK-nya untuk sekolah. Orang tua Allim dan juga keluarganya yang lain memahami penyebab dari kebosanannya karena Allim sangat terbuka untuk membicarakan perasaan dan pikirannya.
Kemampuan membaca dan berhitungnya semakin meningkat karena Allim sangat rajin belajar. Motivasi Allim untuk belajar akhirnya semakin menurun ketika Allim sudah menginjak bangku Sekolah Dasar (SD). Allim diterima di Sekolah Unggulan yang ada di kota tempat dia tinggal. Beberapa kali gurunya melaporkan kelakuan Allim yang suka bermain-main pada saat proses belajar mengajar berlangsung, dia suka menggoda teman-temannya atau keluar kelas untuk bermain.
Allim selalu mengeluhkan hal yang sama, bahwa dirinya bosan. Peneliti pernah memberikan les privat (inisiatif sendiri, bukan permintaan keluarga subjek) kepada Allim dan kakakya – Arul – beserta dua orang sepupunya yang bernama Muammar Kadafi (panggilan Dafi) dan Ahmad Fuadi (Panggilan, Fuad). Dafi berusia 10 tahun dan Fuad seusia dengan Allim, yaitu delapan tahun. Peneliti sengaja memberikan tes umum kepada mereka seperti membaca cerita yang sangat panjang, latihan berhitung; penjumlahan, pengurangan, dan perkalian.
Peneliti melihat antusiasme Allim yang sangat besar, dia mempunyai semangat kompetisi yang besar jika dihadapkan dengan hal-hal yang baru dan sulit baginya. Saat bacaan yang diberikan peneliti dari bukunya, Allim terlihat sangat malas dan membaca datar namun setelah peneliti memberikan buku bacaan umum (bukan buku sekolah) seperti buku cerita versi anak-anak, maka Allim sangat antusias. Dia bahkan berebutan buku dengan anak-anak yang lain.
Ibu Allim mengatakan bahwa prestasi Allim di sekolah bagus. Meskipun Allim tidak begitu memperhatikan dan serius dalam proses belajar mengajar di sekolah tapi setiap malam dia diwajibkan untuk belajar setelah shalat magrib dan tidak boleh nonton sebelum jam belajar selesai. Di rumah, Allim bebas belajar apa saja selama masih berhubungan dengan mata pelajaran di sekolahnya. Prestasinya tergolong normal, dalam artian nilai yang didapatkan Allim tidaklah jauh lebih baik daripada nilai teman-temannya yang lain dan tidak buruk.
Ibunya menambahkan bahwa Allim belum mengikuti tes IQ sehingga ibunya belum tahu tentang kondisi IQ Allim. Ibunya juga menambahkan bahwa kakak Allim yang sekarang sudah kuliah, dulunya mempunyai masalah yang sama dengan Allim yang memperlihatkan kemampuan membaca dan berhitung yang sangat bagus sewaktu masih usia 3-4 tahun tapi setelah menginjak usia sekolah, prestasinya menurun. Ibunya menambahkan bahwa kakak perempuan Allim ternyata memiliki IQ Superior dan mulai menunjukkan prestasi yang sangat bagus di bangku SMA dan selalu mengikuti olimpiade yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan di kota tempatnya tinggal, khususnya olimpiade matamatika dan fisika. Mungkin cuma masalah pada dorongan untuk berkompetisi atau bersaing dengan teman-temannya yang lain karena merasa tidak ada lawan yang pas. Ibunya Allim mengaku bahwa dia tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk menjadi yang terbaik atau mendapat juara umum, tetap belajar dan menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan rumah serta mendapatkan nilai yang bagus, baginya sudah cukup. Ibu Allim ingin anak-anaknya tetap menikmati tahap perkembangannya dengan normal, seperti bermain-main di usia kanak-kanaknya.

B. Proses Pengumpulan Data
1. Metode pengumpulan data
Metode pengumpu¬lan data yang digunakan dalam studi kasus ini adalah metode wawancara mendalam. Peneliti melakukan wawancara secara langsung dengan ibunya Allim. Selain wawancara, peneliti juga menggunakan metode observasi. Observasi, adalah teknik yang paling lazim digunakan dalam penelitian kualitatif, dimana teknik ini memerlukan pengamatan secara cermat terhadap perilaku subjek baik dalam suasana formal maupun informal (Danim, 2002).
Observasi juga merupakan teknik pengumpulan data yang menekankan pada pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap fenomena yang diteliti (Hadi, 2004). Metode observasi digunakan oleh peneliti untuk melihat keakuratan tiap pernyataan yang dipaparkan oleh responden dengan membandingkan perilaku yang ditampakkan oleh Allim. Selain wawancara kepada ibunya Allim, peneliti juga mewawancarai kakak-kakak Allim dan beberapa keluarga yang peneliti temui untuk melakukan pencocokan data yang sudah dikumpulkan dari ibunya Muallim Haq.
2. Proses pengumpulan data
Proses pengumpulan data berjalan lancar disebabkan responden, dalam hal ini ibu dan keluarga Allim sangat terbuka dan ramah. Mereka menjelaskan banyak hal tentang Allim mulai dari Allim dalam kandungan sampai sekarang. Dalam proses pengumpulan data, semua berjalan secara alami karena pada dasarnya peneliti sudah mengenal dengan baik keluarga Allim dan peneliti juga menjadi saksi atas kemampuan Allim membaca pada saat usianya empat tahun. Keluarga Allim senang mengajak Allim bersilaturahmi di rumah keluarga dan teman-teman sehingga sangat sering peneliti bertemu dengan Allim.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
1. Pengertian anak berbakat
Bakat (aptitude) pada umumnya diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Bakat memerlukan latihan dan pendidikan agar suatu tindakan dapat dilakukan dimasa yang akan datang. (http://makalah-ibnu.blogspot.com, 2008).
Kamus besar bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995) dijelaskan tentang bakat, yakni dasar kepandaian, sifat, atau pembawaan yang dibawa sejak lahir. Santrock (2007) memasukkan anak berbakat dalam golongan anak-anak pelajar tidak biasa. Anak berbakat (gifted) mempunyai kecerdasan di atas rata-rata (biasanya punya IQ di atas 130) dan atau punya bakat unggul di beberapa bidang, seperti seni, musik, atau matematika. Delphie (2006) menyatakan bahwa pengertian anak berbakat dan keberbakatan berdasarkan pengertian yang didasarkan pada faktor tunggal (unidimensi) adalah pengertian yang menggunakan intelegensi sebagai kriteria tunggal dalam menentukan keberbakatan. Sedangkan pendekatan yang berdasarkan pendekatan multidimensional tidak hanya menggunakan intelegensi sebagai kriteria tunggal dalam menentukan keberbakatan, tetapi kriteria jamak berupa kriteria-kriteria lain selain intelegensi. Milgram (Delphie, 2006) menambahkan, anak berbakat adalah mereka yang mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument stanford binet, mempunyai kreativitas tinggi, kemampuan memipin dan kemampuan dalam seni drama, seni musik, seni tari, dan seni rupa.

2. Karakteristik anak berbakat
Ellen Winner (Santrock, 2007) menjelaskan bahwa seorang ahli di bidang kreativitas dan anak berbakat, mendeskripsikan tiga kriteria yang menjadi ciri anak berbakat, antara lain:
a. Dewasa lebih dini (precocity). Anak berbakat adalah anak yang dewasa sebelum waktunya apabila diberi kesempatan untuk menggunakan bakat atau talenta mereka. Mereka mulai menguasai suatu bidang lebih awal ketimbang teman-temannya yang tidak berbakat. Dalam banyak kasus, anak berbakat dewasa lebih dini karena mereka dilahirkan dengan membawa kemampuan di domain tertentu, walaupun bakat sejak lahir ini tetap haus dipelihara dan dipupuk.
b. Belajar menuruti kemauan mereka sendiri. Anak berbakat belajar secara berbeda dengan anak lain yang tidak berbakat. Mereka tidak membutuhkan banyak dukungan dari orang dewasa. Sering kali mereka tidak mau menerima instruksi yang jelas. Mereka juga kerap membuat penemuan dan memecahkan masalah sendiri dengan cara yang unik di bidang yang memang menjadi bakat mereka. Tetapi kemampuan mereka di bidang lain boleh jadi normal atau bisa juga di atas normal.
c. Semangat untuk menguasai. Anak yang berbakat tertarik untuk memahami bidang yang menjadi bakat mereka. Mereka memperlihatkan minat besar dan obsesif dan kemampuan kuat fokus. Mereka tidak perlu di dorong oleh orang tuanya. Mereka punya motivasi internal yang kuat.
Seminar nasional mengenai alternatif program pendidikan bagi anak berbakat yang diselenggarakan oleh badan penelitian dan pengembangan pendidikan dan kebudayaan, pusat pengembangan kurikulum dan sarana pendidikan bekerja sama dengan yayasan pengembangan kreativitas pada tanggal 12-14 November 1981 di Jakarta, disepakati bahwa yang maksud dengan anak berbakat adalah mereka yang oleh orang-orang profesional diidentifikasi sebagai anak yang mampu mencapai prestasi yang tinggi karena mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul. Anak-anak tersebut memerlukan program pendidikan yang berdiferensiasi atau diluar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangan mereka terhadap masyarakat maupun untuk pengembangan diri sendiri (Munandar, 2004). Kemampuan-kemampuan tersebut baik secara potensial maupun yang telah nyata meliputi (Munandar, 2004):
a. Kemampuan intelektual umum
b. Kemampuan akademis khusus
c. Kemampuan berpikir kreatif produktif
d. Kemampuan memimpin
e. Kemampuan dalam salah satu bidang seni
f. Kemampuan psikomotor seperti dalam olahraga
Konsepsi lain dalam keberbakatan yang digunakan dalam identifikasi siswa berbakat di Indonesia ialah “Three Ring Conseption” dari Renzulli dkk. yang menyatakan bahwa tiga ciri pokok yang merupakan kriteria keberbakatan ialah keterkaitan antara kemampuan umum diatas rata-rata, kreativitas diatas rata-rata dan pengikatan diri terhadap tugas cukup tinggi (Munandar, 2004).
Defenisi operasional tentang keberbakatan ini merupakan bagian esensial dari setiap program khusus untuk anak berbakat karena memberikan arah baik untuk sistem identifikasi maupun untuk praktek pendidikan khusus anak berbakat (Munandar, 2004).
Suatu definisi merupakan pernyataan yang diungkapkan secara eksplisit dan menjadi bagian dari kebijakan dan bahkan juga dari peraturan (Renzulli dalam Munandar, 2004), oleh karena itu, adalah penting bahwa suatu defenisi memenuhi tiga kriteria. Riset tentang individu yang kreatif menunjukkan secara konsisten bahwa orang-orang yang mendapat pengakuan dan kontribusi kreatif mereka yang unik, memiliki tiga kelompok ciri-ciri yang berpautan. Ciri-ciri tersebut adalah :
a. Kemampuan diatas rata-rata dan inteligensi
Salah satu dalam identifikasi anak berbakat adalah anggapan bahwa hanya kecerdasan dan kecakapan sebagaimana diukur dengan tes prestasi belajar menetukan keberbakatan dan produktivitas seseorang. Terman menjelaskan bahwa inteligensi tidak sinonim dengan keberbakatan. Wallach pun menunjukkan bahwa mencapai skor tertinggi pada tes akademis belum tentu mencerminkan potensi untuk kinerja kreatif (Munandar, 2004).
b. Kreativitas
Kelompok kedua yang dimiliki anak berbakat adalah kreativitas, sebagai kemampuan umum untuk menciptakan sesuatu yang baru, sebagai kemampuan untuk memberikan gagasan baru yang dapat diterapakan dalam pembecahan masalah, atau sebagai kemampuan untuk melihat hubungan-hubungan baru antara unsur-unsur yang sudah ada sebelumnya (Munandar, 2004).
c. Pengikatan diri terhadap tugas
Pengikatan diri terhadap tugas adalah bentuk motivasi yang internal yang mendorong seseorang untuk tekun dan ulet mengerjakan tugasnya, mesikpun mengalami macam-macam rintangan atau hambatan, menyelesaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, karena ia telah mengikatkan diri terhadap tugas tersebut atas kehendak dirinya (Munandar, 2004).
Martinson (1974) menambahkan daftar ciri-ciri yang ada pada anak berbakat, antara lain (http://makalah-ibnu.blogspot.com, 2008):
a. Membaca pada usia lebih muda
b. Membaca lebih cepat dan lebih banyak
c. Memiliki perbendaharaan kata yang luas
d. Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat
e. Mempunyai minat yang luas
f. Mempunyai inisiatif
g. Dapat memberikan banyak gagasan
h. Luwes dalam berfikir

3. Dasar Pertimbangan pendidikan untuk anak berbakat
Beberapa pertimbangan atau alasan mengapa pelayanan pendidikan khusus bagi yang berbakat perlu (Munandar, 2004):
a. Keberbakatan tumbuh dari proses interaktif antara lingkungan yang merangsang dan kemampuan pembawaan dan prosesnya. Pengembangan potensi pembawaan ini akan paling mudah dan paling efektif jika dimulai sejak usia dini, yaitu tahun pertama dari kehidupan, dan memerlukan perangsangan serta tantangan seumur hidup agar dapat mencapai perwujudan (aktualisasi) pada tingkat tinggi. Dengan perkataan lain, anak berbakat memerlukan program yang sesuai dengan tingkat perkembangan.
b. Pendidikan atau sekolah hendaknya dapat memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua anak untuk memperkembangkan potensinya (bakat-bakatnya). Ditinjau dari segi ini adalah tanggung jawab dari pendidikan yang demokratis untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi mereka yang berkemampuan unggul, atau berbakat istimewa, agar dapat mewujudkan diri sepenunya.
c. Jika anak berbakat dibatasi dan dihambat dalam perkembangannya, jika mereka tidak dimungkinkan untuk maju lebih cepat dan memperoleh materi pengajaran sesuai dengan kemampuannya, sering mereka menjadi bosan, jengkel atau acuh tak acuh. Cukup banyak anak yang putus sekolah sebetulnya termasuk anak berbakat. Karena tidak memperoleh pengalaman pendidikan yang sesuai, anak berbakat dapat menjadi underachiever dalam pendidikan.
d. Terdapat kekhawatiran bahwa pelayanan pendidikan khusus bagi anak berbakat akan membentuk kelompok elite, perlu dipertanyakan apa yang dimaksud dengan kelompok elit. Apabila dengan elite yang dimaksud “golongan atas” maka memang ditinjau dari keunggulan bakat dan kemampuan mereka tergolong elite.
e. Anak dan remaja berbakat merasa bahwa minat dan gagasan mereka sering berbeda dari teman sebaya, hal ini dapat membuat mereka merasa terisolasi, merasa dirinya “lain dari yang lain”, sehingga tidak jarang mereka membentuk konsep diri yang negatif (Yaumil Achir dalam Munandar, 2004). Bagaimanapun anak berbakat adalah pertama-tama seorang anak dengan kebutuhan-kebutuhan emosional-sosial seorang anak, dan baru pada tempat kedua ia adalah berbakat. Menghadapi anak berbakat, kita tidak boleh melupakan bahwa ia tetap seorang anak.
f. Jika kebutuhan anak dipertimbangkan dan dirancang program untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka sejak awal, maka mereka menunjukkan peningkatan yang nyata dalam prestasi, sehingga tumbuh rasa kompetensi dan rasa harga diri. Dengan program khusus mereka belajar untuk bekerja lebih efisien: mereka mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dengan baik dan mampu melihat solusi dari berbagai sudut pandang. Mereka dapat menggunakan pengetahuan mereka sebagai latar belakang untuk belajar tanpa batas.
g. Mereka yang berbakat jika diberi kesempatan dan pelayanan pendidikan yang sesuai akan dapat memberi sumbangan yang bermakna kepada masyarakat dalam semua bidang usaha manusia. Masyarakat membutuhkan orang-orang yang berkemampuan luar biasa untuk menghadapi tuntutan masa depan secara inovatif (Clark dalam Munandar, 2004).
h. Dari sejarah tokoh-tokoh yang unggul dalam bidang tertentu ternyata memang ada di antara mereka yang semasa kecil atau sewaktu di bangku sekolah tidak dikenal sebagai seorang yang menonjol dalam prestasi akademik, namun mereka berhasil hidup.

B. Pembahasan
1. Faktor penyebab masalah
Masalah yang dihadapi oleh Allim adalah kebosanan terhadap mata pelajaran yang diterimanya sejak TK sampai SD. Allim tidak mempunyai motivasi untuk lebih berprestasi karena Allim tidak mendatangkan suasana yang kompetitif. Pada akhirnya Allim mengalami masalah Underachiever dimana nilai-nilainya berada dalam rentang nilai rata-rata.Hutchkin (Semiawan, 1995) menyatakan bahwa yang disebut underahcivher diantara anak berbakat adalah kinerja yang secara signifikan berada di bawah potensinya.
Berdasarkan pemaparan kasus di atas, maka peneliti menemukan adanya beberapa faktor yang menjadi penyebab aunderachiever pada Allim. Faktor penyebab agresi yang dimaksud antara lain:
a. Latar belakang keluarga
Munandar (2004) menyatakan bahwa keluarga anak underachiever memiliki beberapa karakteristik seperti moral yang rendah, keluarga yang terpecah atau kematian. Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan maka tidak ditemukan adanya indikasi moral keluarga yang rendah. Keluarga Allim terkesan religius yang nampak dari jilbab yang dikenakan oleh Ibunya, saudara perempuannya, dan keluarganya yang lain. Ayah Allim sudah meninggal dunia sewaktu Allim masih dalam kandungan dan sosok laki-laki di rumahnya hanya dua orang yaitu kakak laki-laki pertamanya yang sekarang berusia 17 tahun dan Arul yang sekarang berusia 10 tahun. Allim tidak menemukan sosok seorang ayah sehingga boleh jadi Allim tidak belajar mengenai kompetisi, perjuangan, dll. Selain itu, Ibu Allim tidak pernah menuntut Allim untuk berprestasi sangat tinggi, baginya Allim tetap belajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya dengan kemampuannya serta tetap bertahan disekolah unggulan sudah cukup. Ibu Allim tidak mau membebani Allim dengan perintah untuk menjadi juara umum karena menurutnya akan ada saatnya Allim akan menemukan situasi yang akan membuatnya menjadi kompetitif sepeti kakak perempuannya yang diidentifikasi ber-IQ Superior.
b. Latar belakang sekolah
Munandar (2004) menjelaskan bahwa anak berbakat intelektual belajar lebih cepat dan lebih mudah memadukan informasi. Guru yang kaku dan berpegangan secara ketat pada jadwal yang telah disusun dan tidak memberikan kesempatan kepada anak yang berbeda dalam kecepatan belajar. Anak berbakat mengamati bahwa jika menyelesaikan tugas dengan cepat akan diberikan tugas-tugas lain yang tidak menantang tetapi hanya sekedar untuk menyibukkan anak. Anak menjadi bosan dan menganggap tugas tambahan sebagai hukuman untuk bekerja cepat. Agar tidak diberi tugas maka anak cenderung untuk bekerja lambat agar bisa selesai bersamaan dengan anak yang lain atau diam-diam membaca buku yang lebih menarik, melamun. Mengganggu anak-anak yang lain dan tidak memperhatikan pelajaran.

2. Model terapi
Allim memiliki bakat akademis yang sudah diperlihatkan sewaktu masih berusia 3-4 tahu, meski demikian orang tua Allim tidak pernah memaksakan Allim untuk lebih berprestasi. Allim juga merasa bosan terhadap proses belajar mengajar sejak TK sampai sekarang.
Peneliti melihat bahwa seharusnya orangtua Allim memberikan stimulus yang lebh banyak untuk mengembangkan bakatnya. Tidak hanya membiarkannya belajar materi yang biasa-biasa saja. Memang orang tua Allim bermaksud baik untuk tidak menuntut anaknya untuk lebih berprestasi namun jika hal tersebut terus berkanjut maka akan sulit bagi Allim untuk mengembangkan kemampuannya.
Masa kanak-kanak adalah masa yang tepat untuk memberikan banyak stimulus agar bakatnya bisa berkembang pesat karena bagaimanapun nasib bangsa kelak akan berada ditangan generasinya sehingga sejak dini anak-anak membutuhkan kondisi yang membuatkan termotivasi untuk belajar, bukan memaksakan.
Konseling karir Anak berbakat dianggap tepat untuk mengatasi masalah Allim. Allim tidak begitu banyak mendapatkan motivasi dan dukungan dari luar untuk berprestasi setinggi-tingginya sehingga perlu dimunculkan motivasi dari dalam diri Allim untuk secara sadar mengembangkan potensi yang dimilkinya (Semiawan, 1995).
Pada masa pertumbuhan anak perlu memiliki peralatan, kebiasaan teratir, kesadaran dan pembentukan sikap dan kesempatan untuk memulai suatu karir tertentu. Stimulasi dari lingkungann diperlukan dalam eskalasi ke arah berfungsinya tingkat tinggi keberbakatan, mencapai aktualisasi diri.
3. Proses terapi
a. Memberikan tes intelegensi individual kepada Allim untuk mengetahui tingkat IQ yang dimilikinya.
b. Memberikan tes keberbakatan yang lain untuk melihat tipe atau jenis keberbakatan Allim berada dibidang apa.
c. Memberikan konseling kepada Ibu dan keluarga yang lain tentang pentingnya stimulus dari lingkungan untuk mengembangkan potensi Allim. Mengembangkan potensinya sejak dini merupakan langkah yang tepat karena jika membiarkan anak berbakat berlama-lama dengan kebosanan maka kemungkianan prestasiny akan jauh lebih menurun dari yang sekarang.
d. Memberikan les-les privat dengan materi yang lebih menantang karena di sekolah Allim tidak mempunyai kurikulum khusus untuk anak berbakat.
e. Meningkatkan rasa percaya diri, penerimaan diri, keberanian mengambil resiko, kompetitif dan sikap-sikap lainnya yang mendukung perkembangan potensi Allim.
f. Senantiasa memberikan pujian apapun hasil yang diperoleh.

E. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka didapatkan beberapa kesimpulan, antara lain:
1. Allim memiliki bakat akademik atau bakat intelektual karena sejak usia 3-4 tahun Allim sudah memperlihatkan kemampuan berhitung dan membaca.
2. Allim merasa bosan dengan sekolah sejak TK sampai sekaran (kelas 3 SD)
3. Allim memiliki nilai rata-rata di sekolah yang berarti jauh di bawah potensi yang sebenarnya.
4. Orang tua Allin tidak pernah memaksakan Allim untuk berprestasi setinggi-tingginya dan memberikan kebebasan kepasa Allim untuk berekspresi sehingga Allim seringkali menuruti kebosanannya.
5. Allim membutuhkan layanan konseling untuk memunculkan kembali antusisme dalam belajar.
6. Konseling karir Anak berbakat dianggap tepat untuk mengatasi masalah Allim. Allim tidak begitu banyak mendapatkan motivasi dan dukungan dari luar untuk berprestasi setinggi-tingginya sehingga perlu dimunculkan motivasi dari dalam diri Allim untuk secara sadar mengembangkan potensi yang dimilkinya.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Guru dan Anak Kreatif ataupun Anak Berbakat. (online) (http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/guru-dan-anak-kreatif-ataupun-anak.html. diakses 19 Juni 2009).
Delphie, B. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: PT Refika Aditama.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Munandar, U. 2004. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Santrock, J.W. 2007.Psikologi Pendidikan (Edisi Kedua). Jakarta: Kencana.
Semiawan, C. 1995. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.